Madinah — Melalui sebuah grup keakraban syabab Madinah di WhatsApp, Ustadz Syura menggagas ide cemerlang. Ia menawarkan agenda mendaki Uhud.
Sejurus kemudian, kami pun mengaminkan gagasan brilian ini. Pasalnya, agenda tersebut akan menjadi kenangan bersejerah yang tak terlupakan.
Dalam Islam, gunung Uhud menyimpan sejuta kisah dan pelajaran berharga. Sebuah perang besar pernah terjadi di tahun ketiga hijriyah. Ia juga merupakan gunung yang dicintai Nabi ﷺ.
«إِنَّ أُحُدًا جَبَلٌ يُحِبُّنَا وَنُحِبُّهُ»
“Uhud adalah gunung yang mencintai kami. Kami pun mencintainya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Musyawarah pun bergulir apa adanya melalui “rapat dadakan” di WhatsApp. Segala persiapan yang diperlukan dan pembagian tugas diputuskan di sana.
Saat diabsen, peserta yang akan mengikuti agenda “panjat gunung” ini terhimpun sekitar 30 orang.
Kami terdiri dari mahasiswa Universitas Islam Madinah, pelajar-pelajar mandiri, dan juga beberapa “santri” yang baru saja tiba dari Negeri Yaman.
Momen Pendakian yang Dinantikan
Selasa (27/24) malam, Ustadz Syura memutuskan titik lokasi kumpul di Mahras.
Mahras merupakan salah satu akses untuk menuju puncak Uhud yang berlokasi di ujung Distrik Sayyid Asy-Syuhada’.
Kami yang terbagi menjadi beberapa rombongan pun tiba satu persatu menggunakan naqel, taksi yang bisa dicegat di pinggir jalan dengan tarif sesuai negosiasi.
Dengan suara serak karena tenggorokan sedang tak bersahabat, Ustadz Syura pun tetap bersemangat memberikan instruksi prapendakian kepada seluruh peserta.
Tak lupa, untuk memastikan kelengkapan peserta, kami dengan saksama mengabsen satu persatu.
Malam itu, meski suhu Kota Madinah cukup dingin, tetapi rasa keakraban di antara peserta terasa hangat.
“Terasa sangat dekat dan seakan-akan kita sudah kenal lama. Padahal, ada yang baru kenal setelah bertemu di Madinah.
Kalau digambarkan bak ikatan persaudaraan nasab bahkan ikatannya lebih kuat”, ungkap Hambali, salah satu mahasiswa Universitas Islam Madinah.
Dengan sukarela, kami berbagi tugas untuk membawa peralatan, potongan daging ayam, dan olahan bakwan setengah ember yang rasanya tak sabar ingin kami santap.
Memang, salah satu ujian saat merantau di tanah Arab adalah rindu makanan khas tanah air.
Pegunungan Tandus, Angin Makin Berembus
Momen pendakian ini amat berbeda. Bila di tanah air, gunung yang kita daki selalu dipenuhi pepohonan yang rimbun dan hutan yang lebat, tetapi Gunung Uhud ini hampir tidak ada pohon sama sekali.
Di sepanjang jalur pendakian hanya terlihat pasir-pasir dan bebatuan besar yang tampak amat kokoh. Angin pun turut menyapa kedatangan para peserta.
Perjalanan pun dimulai. Langkah demi langkah kami ayunkan bersama dengan obrolan dan euforia keakraban.
Suasana Madinah malam itu amat cerah, kami berjalan tanpa lampu senter. Pasalnya, cahaya rembulan terus menemani kami hingga tiba di puncak.
Kemilau Madinah yang Syahdu
Setelah ribuan langkah kami lewati dengan cukup lelah, tiba-tiba semangat pun kembali berkobar saat kemilau Kota Nabi ﷺ mulai terlihat.
Suasana keakraban pun bertambah syahdu. Kemerlip lampu dan bangunan-bangunan apartemen tampak indah dari kejauhan.
Ada sebuah pemandangan yang membuat lisan tak berhenti dari bertasbih, Masjid Nabawi pun mulai tampak dengan megahnya. Subhanallah!
Tanpa berucap, kami pun bersepakat untuk menjeda sejenak pendakian ini.
Kami duduk di tebing demi menikmati sebuah pemandangan yang belum pernah kami lihat sebelumnya.
“Ketika telapak kaki berpijak di gunung ini melihat pemandangan dari ketinggian kurang lebih 1.077 Mdpl, ini adalah sebuah kenangan yang indah selama hidup.
Penataan kota yang rapi masyaallah dan benar sesuai namanya ‘Al-Munawwarah’, cemerlang, terang benderang, dan bersinar. Kenangan ini sebagai ukiran kisah dalam lembar hidup saya”, ungkap Abu Sakhr mengagumi panorama indah malam itu.
Kami tidak sedang melihat keindahan Kota Jakarta dengan gemerlapnya yang memukau, tetapi ini adalah Kota Madinah yang menjadi saksi panjang sejarah Islam!
Memupuk Semangat
Setelah kekutan kembali terhimpun, perjalanan pun kami lanjutkan. Sebuah tower telekomunikasi yang berada di atas merupakan tujuan kami “menggelar tikar”.
Hmm … Itu dia sudah tampak. Rasanya, sebentar lagi kami sampai.
Namun, perjuangan tidak sesederhana yang kita bayangkan. Masih harus ada “upaya lebih” dan jiwa pantang menyerah agar benar-benar sampai pada tujuan.
Terkadang, “dekat” hanya fatamorgana. Ada banyak proses lelah yang harus dilampaui dengan jiwa pantang menyerah.
“Pada mereka yang mengharapkan asa yang tinggi tanpa kesungguhan, katakanlah, ‘Sungguh, sejatinya kamu sedang mengharapkan kemustahilan’”, pesan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Miftah Dar As-Sa’adah.
Menapak Puncak
Setelah napas mulai singkat-singkat, akhirnya perjalanan pun berhasil kami taklukkan. Kini, peserta telah tiba di sebuh spot yang cukup luas dan cenderung datar.
Tak ada yang lebih baik dari ucapan tasbih saat melihat panorama semesta yang amat indah. Inilah kota Madinah, tempat hijrahnya Nabi ﷺ, tempat para shahabat berjuang mempertaruhkan nyawa demi agama.
Para peserta yang mungkin mayoritasnya telah menahan lapar pasca terkurasnya energi saat mendaki, kini telah mempersiapkan tungku perapian.
Menu di puncak Uhud malam ini adalah ayam bakar, ikan laut, dan bakwan. Hawa dingin khas puncak gunung pun mulai berembus, tetapi suasana kehangatan makin terasa antarpeserta.
Mereka bergotong royong menyalakan api, bergantian memasak, hingga menyeduh minuman untuk menghangatkan badan
Suasana ukhuwah benar-benar terpotret indah dengan bingkai panorama Kota Madinah. Menurut Abu Abdil Ilah Zb, kegiatan semacam ini sangat bermanfaat guna membangun solidaritas antar syabab di Kota Madinah,
“Kegiatan bersama semacam ini sangat dibutuhkan dalam suatu komunitas. Guna membangun solidaritas antar sesama, menjalin komunikasi yang baik, mempererat tali persaudaraan, dan banyak lagi faedah yang bisa dipetik …”.
Ia juga berharap kegiatan semacam ini dapat menjadi agenda rutin,
“Ana sangat berharap adanya agenda rutinan semacam ini. Namun tidak terlalu sering, mengingat waktu yang terbatas terkhusus bagi pelajar mandiri di Madinah”.
Sufrah Digelar, Sinyal Hidangan Siap Disantap
Layaknya masyarakat Arab, kami di sini terbiasa makan berjamaah dengan gelaran sufrah, media untuk meletakkan hidangan sebagai ganti dari piring atau nampan.
Karena kami berjumlah sekitar 30 orang, gelaran sufrah pun memanjang sekitar 6 meter. Di sana, sudah tersedia nasi dengan hidangan ayam bakar dan ikan laut yang lezat.
Terlelap di Bawah Pancaran Sinar Purnama
Seusai menyantap hidangan malam, para peserta menggelar sajadah dan sarung masing-masing sebagai alas tidurnya.
Uniknya, kami memang sengaja tidak membawa perlengkapan tenda (karena memang tidak punya), kami sepakat untuk terlelap di bawah sinar rembulan sembari memandang panorama indah Kota Madinah. Sungguh syahdu!
Mengenang Momen Bersejarah
Keigiatan mendaki Uhud ini bukan refreshing dan aktivitas olahraga semata. Lebih dari itu, kita bisa merefleksikan bagaimana sejarah besar pernah terjadi di sekitar tempat kaki kami menapak malam itu.
“Sebenarnya kita sudah pernah dengar dan membaca kisah-kisah seputar Uhud, bagaimana ketika Nabi ﷺ berperang, menaiki Gunung Uhud, saat Uhud bergoncang, kita merasa takjub.
Namun, pas kita menyaksikan dan berada di tengah momen-momen bersejarah itu, perasaan di hatinya lebih …”, tutur Abu Salim Bawazier mengungkapkan perasaannya.
Abu Tsumamah, salah satu peserta juga menuturkan momen bersejarah yang dikenangnya.
“Di perang Uhud, ada beberapa shahabat yang terbunuh. Di antaranya adalah Handzalah. Beliau dimandikan oleh malaikat”.
Memang, Kota Madinah menyimpan sejuta pelajaran berharga. Mengunjungi dan menetap di sana dapat semakin memperkokoh iman kita. Allahu Akbar!
Matahari Terbit, Peserta Beranjak Bangkit
Setelah menikmati hidangan malam, istirahat, shalat subuh berjamaah, dan menikmati sunrise, para peserta mulai berkemas untuk kembali ke “rumah masing-masing”.
Meskipun bukan rumah sungguhan, ada yang pulang ke asrama Kampus, ada pula yang pulang ke syuqqah (istilah untuk menyebut apartemen), tetapi kami senang menyebutnya dengan “rumah”.
Karena, Madinah adalah rumah. Di sini kami merasakan kehangatan, ketenangan, dan juga euforia yang amat damai.
Di sini pula kami belajar, menimba ilmu, dan bermulazamah di majelis para ulama. Sebuah anugerah dari Allah yang wajib kami syukuri.
Mudah-mudahan nikmat semacam ini langgeng untuk kami dan segenap pemirsa SyababSalafy. Amin. (AM)