Momen akhir bulan suci mengingatkanku pada Ramadan 1442 H lalu, saat kakek yang berperawakan tinggi besar dan hampir tidak pernah sakit, mulai terbaring melemah.
Ramadan kali itu sangat berbeda suasananya. Biasanya, kakek sangat giat beraktivitas di masjid, mengurus kegiatan masyarakat kampung dan mensosialisakan jadwal berbuka, tarawih, dan sederet agenda Ramadan lainnya.
Beliau juga orang yang aktif memakmurkan masjid, datang lebih awal untuk mengumandangkan adzan, iqamah, sekaligus mengimami. Kadang kala, ketika cucunya berkunjung, dialah yang beliau tunjuk untuk menjadi imam.
***
Beberapa hari setelah lebaran, di pagi hari menjelang siang, beliau mengembuskan nafas terakhirnya. Aku tidak menyangka akan secepat itu berpisah. Aku mengira, dengan kekuatan fisik beliau -biidznillah- akan segera pulih.
Namun, demikianlah ketetapan Allah. Kesedihan mulai menyelimuti keluarga besar. Kami pun ikhlas akan ketetapan-Nya ini. Kematian ialah hal yang lumrah pada manusia. Tinggal bagaimana kita menjalani tugas sebagai hamba dengan sebaik-baiknya.
Ada hal teramat berharga dari detik-detik akhir kehidupan beliau. Hatiku benar-benar tergerak untuk mengabadikannya agar menjadi pengingat bagiku dan anak-anak keturunanku nantinya.
Mudah-mudahan mereka mengenang bahwa kakek mereka dahulu adalah orang yang saleh, insyaallah. Kakek memang telah pergi, tetapi beliau meninggalkan jejak yang baik sebagai teladan untuk kita.
***
Setidaknya, ada 3 hal yang paling aku ingat …
Pertama, beliau mulai memasuki masa-masa kritis adalah ketika menjelang akhir Ramadan, sekitar 10 malam terakhir. Badannya sudah terasa sakit semua.
Mulai dari keluhan nyeri di kaki, perut, sesak napas dan rasa sakit yang luar biasa membuat beliau tidak mampu tidur selama berhari-hari. Aku yang menjaga beliau pun merasa sangat sedih dan khawatir. Selama hidupku menjadi cucu beliau, tiada pernah melihatnya sakit seberat ini.
Namun, di saat-saat seperti itu, beliau tidak lupa dengan Al-Quran. Beliau tidak lupa dengan tilawah Al-Quran dan akhir yang beliau baca ketika masih memiliki daya. Beliau berpesan kepada cucunya,
“Kemarin mbah sudah membaca Al-Quran dan hampir selesai, kurang 2 juz akhir saja. Tolong bantu selesaikan bacaannya, ya”. Ucapnya kepada cucu perempuannya dengan suara terengah-engah menahan sakitnya yang makin berat, kala itu Ramadan hampir saja berakhir.
Subhanallah. Air mataku benar-benar menetes saat mengenangnya dengan rasa syukur yang mengiringi, tentunya.
Saat beliau mengucapkan hal itu, aku teringat akan sabda Nabi ﷺ, mudah-mudahan beliau mendapatkan kabar gembira yang disabdakan itu.
“(Kelak) akan diseru kepada pembaca Al-Quran, ‘Baca dan naiklah secara tartil sebagaimana engkau membaca tartil di dunia! Karena, kedudukanmu berada di akhir ayat yang engkau baca’.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Semangat beliau dalam membaca Al-Quran di usia senja, tentu menjadi penyemangat bagi anak-anak muda untuk tidak kalah giat.
***
Kedua, Saat beliau benar-benar lemah tak berdaya, adzan Maghrib berkumandang. Kebetulan, rumah beliau memang bertetangga dengan masjid. Jadi, lantunan adzan terdengar dengan lantang.
Saat itu, kondisi beliau sudah tidak mampu duduk. Bahkan, berbaring pun beliau merasakan sakit yang luar biasa.
Namun, saat adzan berkumandang, beliau segera bergegas memantapkan tekad untuk menegakkan shalat. Padahal, kondisinya cukup kritis dan tidak mampu berbuat apa-apa.
Beliau memaksa untuk dibantu ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Beliau tak pedulikan rasa sakit yang diderita dan betapa payahnya dalam bergerak.
Akhirnya, bibi pun menegurnya dengan hangat, agar sebaiknya bertayammum saja. Pasalnya, bila beliau mengambil air wudhu, jalan ke kamar mandi, dapat menambah rasa sakit yang dideritanya.
Beliau enggan dan bersikeras harus wudhu.
Beliau mengira, wudhu adalah kewajiban yang tak tergantikan, meskipun sedang menderita sakit yang hebat.
Akhirnya, bibi pun meminta kakek untuk bertanya padaku tentang kebolehan bertayammum ketika sakit keras, aku pun mengiyakannya dan beliau baru percaya.
Bagiku, momen ini begitu berkesan dan akan kuingat selamanya, begitu besar perhatian beliau dengan ibadah shalat. Saat-saat kritis dan lemah tak berdaya, shalat tetap menjadi prioritas utama.
Syarat shalat yang berat untuk beliau kerjakan saat itupun benar-benar ingin diwujudukan dengan sempurna.
Aku langsung teringat akan sabda Nabi ﷺ yang menyebutkan kedudukan ibadah shalat yang begitu tinggi dalam Islam. Ia merupakan pilar agama, bila pilar kuat, maka bangunan pun akan kokoh. Berlaku pula sebaliknya.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Sungguh amalan pertama dari seorang hamba yang akan dihisab adalah shalat. Bila shalatnya baik, maka ia beruntung dan berhasil. Namun, bila shalatnya rusak, maka ia merugi.
Jika ada sedikit kekurangan pada shalat wajibnya, Allah berfirman, “Lihatlah! Apakah hamba-Ku ini memiliki shalat sunnah yang dapat menyempurnakan kukurangan yang ada?”. Lalu, begitu pun dengan amalan-amalan lain yang telah diperbuatnya”. (HR. At-Tirmidzi)
Potret semangat dalam menjalankan ibadah shalat yang tercermin pada akhir-akhir detik kehidupan beliau selaras dengan apa yang terjadi di masa sehatnya.
Beliau adalah orang yang rajin memakmurkan masjid, bahkan kadangkala beliau hanya satu-satunya jamaah laki-laki yang berada di masjid di siang hari. Aku pun hampir tidak pernah melihat beliau terlambat shalat.
Bila memutar ingatan kembali jauh ke belakang, beliau memang selalu memberi teladan terbaik untuk kami, selalu mengingatkan untuk bersegera ke masjid kalau adzan telah berkumandang.
Ya Allah! Semoga hal ini menjadi kebaikan bagi beliau di alam kuburnya. Amin!
***
Ketiga, malam selepas Isya’, ada serombongan bapak-bapak jamaah masjid yang mengetuk pintu, mereka hendak menjenguk kakek yang memang sudah sekian hari tidak terlihat di masjid.
Saat itu, kondisi kakek memang sudah tak berdaya, duduk saja nyaris tidak kuat. Namun, saat teman-teman beliau berkunjung, beliau minta dibantu agar bisa berdiri menyambut tamu yang menjenguk.
Aku pun membantunya dengan kepayahan. Akhirnya, beliau hanya bisa duduk lesehan di ruang tamu, aku pun duduk di belakangnya, berjaga agar kakek tetap kuat untuk duduk.
Para tamu pun berusaha menghibur dan menguatkan beliau, seperti biasa, kakek tetap berusaha terlihat tegar dan kuat.
Sampai akhirnya, ketika para tamu tadi hendak berpamitan, mereka dengan sungkan menyelipkan uang dan memberikannya kepada kakek sembari menyampaikan bahwa itu adalah hadiah dari jamaah yang lain, mohon kiranya untuk diterima.
Namun, bagaimana reaksi beliau? Subhanallah! Aku sangat bersyukur, Allah memberiku kesempatan untuk melihat momen yang menjadi pelajaran berkesan untukku.
Kakek dengan sangat bijak menerima pemberian uang tesebut. “Baik, saya menerima pemberian ini”, sembari beliau menyambut pemberian tadi dan menerimanya dengan tangannya.
Sedetik kemudian, beliau melanjutkan, “Sekarang, uang ini sudah saya terima dan menjadi hak saya. Mohon untuk selanjutnya, sampaikan uang ini seluruhnya untuk infak masjid”, sembari beliau menyerahkannya kembali kepada orang yang tadi memberinya. Subhanallah!
Ya, Allah! Jadikanlah itu sebagai amal jariyah beliau, sebagai pahala yang dapat menghapuskan seluruh dosanya dan tempatkanlah beliau di surga firdaus-Mu!
Aku langsung teringat bahwa ayat dan hadits yang mengabarkan akan pahala sedekah memang tak terkira banyaknya.
“Barangsiapa meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan mengembalikannya berlipat ganda untuknya, dan baginya pahala yang mulia”. (QS. Al-Hadid: 11)
Rasulullah ﷺ pernah memerintahkan para sahabatnya untuk menjauhkan diri dari api neraka walau hanya dengan sebutir kurma. Bahkan, beliau juga menyampaikan bahwa sedekah dapat menghapuskan dosa, layaknya api yang melahap kayu bakar.
Ya Allah! Terimalah amalan-amalan beliau.
***
Setidaknya, 3 momen di atas merupakan pemandangan yang menyejukkan mata di detik-detik akhir kehidupan beliau. Meskipun saat itu aku tak menyangka bahwa Ramadan 1442 H merupakan perjumpaan akhir dengan beliau, rahimahullah rahmatan wasi’ah.
Mungkin mayoritas pembaca tidak ada yang mengenal beliau semasa hidupnya. Namun, di sini aku sedikit mengenalkan sekulumit kisah indah di akhir jatah hidup kakek di dunia ini.
Kiranya, para pembaca juga berkenan turut melayangkan doa tulusnya kepada beliau rahimahullah, juga kepada seluruh kaum muslimin yang telah Allah panggil dan menyelesaikan tugas hidupnya sebagai hamba di dunia. Mereka membutuhkan doa kita, dan kelak, insyaallah kita semua akan menyusul mereka.
Kisah ini, aku tulis juga dengan harapan agar kisahnya tersimpan rapi, terkenang oleh manusia yang hidup setelah beliau, terkhusus untuk anak-anak, cucu, dan keturunannya kelak, agar semuanya dapat mengambil ibrah bahwa sang kakek dahulu adalah telah meninggalkan sederet sikap keteladanan yang mulia.
Ditulis pada malam 27 Ramadan 1443 H
SubhanaAllah… Semoga Allah memberikan balasan yang melimpah padamu kek.. Semoga Allah menerima segala amal perbuatan kakek dan mengampuni segala kesalahan kakek aamiin.. Kisah ini mengingatkanbku pd alur hidupku, yang mengharuskan untuk selalu kuat bagakan baja walau aku seorng wanita. Kisah ini membuatku menjadi semakin semangat dn ingin slalu ku simpan tuk memotivasi kala lemah menyapa. Jazakumullahu khoiran telah berbagi kisah indah ini.. Semoga Allah menjadikan ini sebagai amal jariyah bgi penulisnya dan semoga Allah selalu menjaga sang penulis.aamiin.. # semangat terus untuk menyebar kebaikan.